Sunday, 15 February 2015

Pengertian Bhinneka Tunggal Ika


Coba kalian amati pada gambar ini, dan coba kalian jawablah pertanyaan berikut ini
1. Mengapa simbol burung garuda yang dijadikan sebagai lambang negara Indonesia?
2. Apakah arti kata - kata Bhinneka Tunggal Ika pada kaki burung garuda pancasila?
3. Mengapa kita semua harus membina keaneka ragaman?
Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan bagi seluruh bangsa Indonesia. Pada sebuah buku berjudul Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012:196) pada buku tersebut mengutip sebuah pendapat dari Suhandi Sigit, ia menyatakan bahwa ungkapan kalimat Bhinneka Tunggal Ika dapat ditemukan pada sebuah Kitab Sutasoma, kitab tersebut ditulis oleh Mpu Tantular pada abad XIV pada saat masa Kerajaan Majapahit. Pada kitab ini Mpu Tantular menulis kalimat “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” (Bahwa pada agama Buddha serta Siwa (Hindu) adalah zat yang sangat berbeda, akan tetapi nilai-nilai suatu kebenaran Jina(Buddha) serta Siwa adalah satu (tunggal). Terpecah belah (berbeda), namun tetap satu jua, artinya tidak ada dharma yang ada dua). Nama Mpu Tantular itu sendiri terdiri dari beberapa kata tan (berarti: tidak) dan tular (berarti: terpangaruh), dengan ini, Mpu Tantular merupakan seorang Mpu (berarti: cendekiawan, pemikir) yang mempunyai pendirian yang teguh, dan tidak dengan mudah terpengaruh oleh orang lain.
Ungkapan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno ini, secara harfiah mempunyai arti bhinneka (berarti: beragam), tunggal (berarti: satu), ika (berarti: itu) yakni bermacam-macam satu itu. Doktrin yang mempunyai corak teologis tersebut pada mulanya dimaksudkan agar antara dua agama yaitu agama Buddha (Jina) serta agama Hindu (Siwa) bisa hidup berdampingan dengan sangat damai dan harmonis, karena hakikat kebenarannya yang terkandung pada ajaran kedua agama merupakan tunggal atau satu.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika awalnya menjadi pembicaraan yang sangat terbatas antara M Yamin, Ir.Soekarno, dan I Gusti Bagus Sugriwa pada sela – sela sidang BPUPKI sekitar dua setengah bulan sebelum terjadi pristiwa Proklamasi kemerdekaan.  Sampai - sampai Bung Hatta sendiri mengatakan bila Bhinneka Tunggal Ika merupakan ciptaan dari Ir. SoeKarno setelah negara Indonesia merdeka. Lalu beberapa tahun kemudian saat akan merancang Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam bentuk seekor burung Garuda Pancasila, semboyan kalimat Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan ke dalam lambang tersebut.
Peresmi lambang Garuda Pancasila tersebut dipakai pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin oleh Moh.Hatta pada tanggal 11 Februari 1950 berlandaskan rancangan yang sudah dibuat oleh seorang bernama Sultan Hamid II (tahun 1913-1978). Pada sidang ini juga muncul beberapa usulan rancangan untuk lambang negara, lalu yang dipilih ialah usulan yang dibuat oleh Sultan Hamid II serta Muhammad Yamin, dan rancangan tersebut dari Sultan Hamid yang kemudian disetujui dan ditetapkan.
Pada buku Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (2012:196) lalu dinyatakan saat perumusan konstitusi negara Indonesia, jasa seorang bernama M.Yamin dicatat sebagai tokoh yang paling pertama kali mengusulkan/mengajukan kepada Ir.SoeKarno agar kalimat Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan negara Indonesia. Konon, di beberapa waktu Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, M. Yamin mengemukakan ungkapan Bhinneka Tunggal Ika itu sendirian. Akan tetapi I Gusti Bagus Sugriwa (sahabatnya dari daerah Buleleng Bali) yang duduk persis di sampingnya sontak mengatakan sambungan ungkapan/semboyan tersebut dengan kalimat “tan hana dharma mangrwa.” Sambungan secara spontan tersebut di samping menyenangkan M.Yamin, sekaligus menunjukkan bila di daerah Bali ungkapan kaliamat Bhinneka Tunggal Ika tersebut masih hidup dan dipelajari oleh orang-orang (Prabaswara, I Made, th 2003). Walaupun Kitab Sutasoma tersebut ditulis oleh seorang sastrawan/cendekiawan agama Buddha, tetapi pengaruhnya cukup besar di sekitaran masyarakat intelektual agama Hindu di Bali.
Para pahlawan pendiri bangsa Indonesia yang kebanyakan memeluk agama Islam tampaknya sangat cukup bertoleran untuk bisa menerima warisan budaya dari seorang Mpu Tantular tersebut. Sikap toleran tersebut adalah watak dasar para suku bangsa di wilayah Indonesia yang sudah mengetahui banyaknya ragam agama, banyaknya kepercayaan maupun tradisi, yang sudah ada jauh sebelum Islam datang ke tanah Nusantara.


No comments:

Post a Comment

Blog saya yang lain