Monday, 27 October 2014
Harapan Menteri yang Baru
Mungkin naif rasanya untuk menulis tema ini, karena tulisan ini hanya ada di blog dan nggak kira dibaca juga oleh menteri yang bersangkutan. Tapi setelah dilantiknya Bapak Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah telah memunculkan sebuah harapan yang besar bagi kami para guru diseluruh Indonesia untuk segera memperbaiki keadaann pendidikan di Indonesia saat.
Melihat "track record" nya sampai saat ini, saya rasa integritas dan kapabilitas menteri kita yang satu ini tidak perlu diragukan lagi. Maka dari itu banyak sekali harapan yang ingin saya sampaikan ke pundaknya. Berikut ini harapan-harapan itu.
1. Dalam sejarah baru kali ini Kementerian Pendidikan di pecah menjadi dua antara pendidikan dasar & menengah dengan pendidikan tinggi. Dengan perubahan ini diharapkan kerja kementerian lebih fokus. Khusus untuk pendidikan dasar dan menengah memang menjadi prioritas untuk segera diperbaiki. Karena pondasi utama pendidikan di Indonesia ada di sini. Sarana prasarana yang selama ini masih terbatas dan rusak, masih banyak daerah terutama di kawasan timur Indonesia dan daerah pedalaman belum ada sekolah dasar dan menengah yang memadai, selain itu sekolah yang adapun masih dalam keadaan rusak bahkan ada yang mau runtuh.
2. Meningkatkan jumlah guru untuk ditugaskan di daerah-daerah yang terpencil, karena selama ini guru hanya terpusat di daerah-daerah yang sudah mapan, seperti di Jawa. Perlu diperbanyak pendidikan profesi guru yang mewajibkan calon guru mengabdikan dirinya di daerah tersebut sebelum dia mendapat sertifikat pendidik.
3. Perlu ada restrukturisasi dan penataan ulang tentang sekolah negeri dan swasta. Pada saat ini tidak ada bedanya sekolah negeri dan swasta, karena baik sekolah negeri dan swasta dibiayai BOS, sehingga banyak sekolah swasta yang menjamur pada beberapa daerah karena adanya dana BOS tersebut. Hal ini menyebabkan banyak sekolah negeri yang kesulitan memperoleh murid dan terancam ditutup kegiatannya.
4. Kurikulum 2013 perlu dikaji ulang, atau minimal diperbaiki pelaksanaannya. Dengan berbagai masalah didalamnya, misalnya: sumber daya manusia guru yang belum siap, penilaian yang rumit, buku ajar yang terlambat datang dll, perlu rasanya solusi secepatnya mengatasi hal tersebut. Kalau perlu saya rasa kurikulum yang lebih "membumi" dan lebih khas Indonesia, bukan yang "mencontek" langsung kurikulum dari luar negeri.
5. Desentralisasi pendidikan. Untuk satu hal ini saya sangat berharap dilakukan, karena dengan luas Indonesia dan jumlah suku bangsa, latar belakan agama, kondisi alam serta strata sosial yang berbeda sangat perlu adanya ruang bagi setiap daerah (minimal provinsi) untuk bisa "berimprovisasi" atau menyesuaikan isi kurikulum sesuai dengan kondisi daerah setempat. Sehingga diharapkan bisa memaksimalkan potensi dan sumber daya di daerah.
6. Solusi terhadap ujian akhir sekolah atau biasanya disebut Ujian Nasional (UNAS) yang selama ini jadi polemik bagi guru dan siswa. Tujuan pelaksanaanya harus diperjelas untuk "kelulusan" atau "pemetaan". Karena pembalajaran adalah "proses" maka tidak perlu UNAS itu sebagai penentu kelulusan, cukup pendidikan berbasis proses dengan sistem pembelajaran tuntas siswa bisa melalu setiap jenjang pendidikan dengan teratur tanpa dihantu UNAS. Kalaupun masih diperlukan UNAS maka tujuannya hanya sebagai "pemetaan" kondisi pendidikan di Indonesia, artinya dari hasil Unas tersebut pemerintah tahu mana daerah yang perlu peningkatan pendidikan mana daerah yang sudah maju pendidikannya.
7. Pendidikan karakter. Memang sudah lama pendidikan karakter di dengung-dengungkan, tetapi masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan sulitnya mencari contoh yang konkrit dalam kehidupannya. Jadi nilai-nilai kejujuran itu harus di tanamkan dari siswa, guru, kepala dinas sampai dengan menteri.
Itulah harapan-harapan saya kepada menteri pendidikan yang baru. Semoga bermanfaat.
Thursday, 23 October 2014
Guru yang cepat keluar kelas
Setiap hari saya mengajar, setiap hari saya masuk kelas, mengajar ilmu yang saya kuasai. Mengajar harusnya seperti pribahasa "home sweet home" yang bisa diplesetkan menjadi "class sweet class" atau kelasku surgaku. Artinya di dalam kelas kita merasa nyaman dan betah. Kita memberikan keceriaan, semangat dan keindahan kepada murid kita. Mereka akan mencari kita bila kita tidak ada, karena mereka merindukan pelajaran kita.
Tapi kenyataan terbalik, kalau jam pelajaran berganti kita seperti akan masuk "neraka", terbayang anak-anak yang nakal di dalamnya, terbayang bahwa kita belum siap materi, terbayang nanti anak-anak tidak memperhatikan kita. Pokoknya bel pergantian kelas itu adalah panggilan yang paling tidak diinginkan di sekolah. Kalau bel benar-benar berbunyi..kringggg.... maka hati kita deg... waduh sudah bel. Karena fikiran negatif sudah merasuk dalam diri kita, maka kita akan berusaha mengulur-ulur waktu masuk kelas, mencari kesibukan apalah yang bisa menunda masuk kelas. Lumayan 10 atau 20 menit baru masuk kelas, parahnya lagi kita baru berangkat ke kelas kalau ada siswa yang menyemput kita.
Lalu bagamana kalau sudah masuk kelas ?. Di kelas benar-benar tidak nyaman, ingin rasanya segera keluar. Setelah mulai pelajaran dengan sedikit penerangkan materi, maka kata-kata "sakti" akan muncul, "anak-anak buku LKSnya ya", "kerjakan halaman 10 sampai 11". Pasti siswa akan ditinggal keluar kelas setelah itu.
Lalu bagaimana mengatasi "Guru yang cepat keluar kela" ? Sebenarnya masalah utamanya adalah persiapan seorang guru dalam pembelajaran. Persiapan di sini bukan hanya menhafalkan materi pelajaran, tetapi juga harus membuat skenario pembalajaran, model pembejalaran, media pembelajaran sampai pada penilaian. Mungkin tipsnya bisa diuraikan sebagai berikut:
1. Malam hari sebelum besok mengajar kita harus meluangkan waktu menelaah RPP atau rencana pembelajaran. Siapkan semua yang berkaitan dengan model, materi, media sampai pada penilaian.
2. Perbanyak membaca buku, jadi misalnya sudah kehabisan bisa mencari bahan lain yang mungkin bisa menambah pengetahuan siswa pada tema yang sedang dibahas.
3. Buatlah media pembelajaran yang bagus dan bisa membuat siswa aktif.
4. Buatlah skenario pembelajaran yang bisa membuat siswa tertarik dalam mengikuti pelajaran.
5. Koreksi semua tugas, ulangan atau portofolio siswa, kemudian kembalikan hasil pekerjaan mereka beserta nilainya. Nilai yang kita buat itu bisa meningkatkan semangat siswa sehingga kita juga semangat mengajar.
6. Buatlah agenda guru yang baik sehingga kita bisa mengetahuai masalah-masalah yang kita hadapi selama mengajar.
7. Usahakan selalu berfikir bahwa menjadi guru itu bukan pekerjaan, tetapi sebuah pengabdian yang mulia untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Tuesday, 14 October 2014
Menghargai Kejujuran Siswa
Jujur berarti tidak bohong, Jujur berarti tidak curang. Kejujuran harganya mahal, Kejujuran sudah mulai hilang dalam kehidupan. Oh... bahaya nih. Suatu saat saya menemukan berita tentang kecurangan dalam ujian. Seperti berjamaah, siswa satu kelas mencontek bersama, tidak ada ketakutan atau rasa bersalah. Karena sudah menjadi kelaziman dan biasa dikerjakan, apalagi pada ujian Nasional.
Coba kita bayangkan seperti ini, mana yang kita pilih ? "siswa nyontek tetapi nilai bagus" atau "siswa jujur tetapi nilainya jelek". Ayo mulai berfikir sejenak .... sudah menemukan jawaban ? belum ? atau bingung ?. Bagi saya pasti bingung, karena ujian tidak mengukur kejujuran siswa, tetapi yang diukur adalah nilai siswa. Kalau nilainya baik dia lulus dan kelau jelek dia tidak lulus. Ukurannya jelas, tidak akan tertulis dirapor "jujur" dan "tidak jujur". Lalu bagaimana ? saya yakin masih ada siswa yang jujur meskipun nilai mereka yang akan menjadi taruhannya. Maka dari itu perlu ada nilai, penghargaan atau apalah yang bisa menghargai kejujuran siswa tersebut.
Dalam kurikulum 2013 penilaian sudah dibuat dalam 3 rana yaitu afektif, psikomotor dan kognitif. Pada pembelajaran, guru harus menilai siswa pada ketiga rana tersebut. Selanjutnya kita fokus pada aspek afektif dan kognitif. Mengapa seperti itu ? Karena afektif terdapat dimensi kejujuran yang akan diukur dan kognitif ada dimensi pengetahuan yang akan dinilai.
Lalu kita coba membayangkan ada dua siswa A dan B. Karakter siswa A "sering mencotek tapi nilainya selalu bagus" dan karakter siswa B "dia jujur tetapi nilainya sering buruk". Berarti yang pertama harus guru lakukan adalah guru memastikan bahwa kedua karakter itu benar. Caranya bagaimana ? Guru harus punya catatan atau agenda yang lengkap yang menulis aktifitas siswa setiap hari. Saya yakin kalau guru melakukan itu, pasti bisa mengenali karakter siswanya masing-masing.
Suatu ketika ada ulangan, siswa A mendapatkan nilai 90 dan siswa B mendapat nilai 60. Bagi guru pasti sulit memutuskan, "apakah membiarkan nilai tetap seperti itu" atau "akan merubah nilai karena A tidak jujur dan B jujur". Di sinilah kita harus bijak bahwa anak yang jujur harus mendapatkan nilai tambah dalam ulanganya. Jadi, kita dapat menambah niali tersebut menjadi 70 atau 80 atau seterusnya. Dan siswa yang tidak jujur kita bisa kurangi nilainya menjadi 70 atau 60 atau lebih bawah lagi.
Manfaatnya apa jika kita melakukan penambahan nilai dan menghargai kejujuran siswa ? Siswa yang mendapatkan penghargaan ketika dia jujur akan mempertahankan kejujuran itu pada kehidupannya. Jika harus berkompetisi dia akan sportif dan tidak melakukan kecurangan. Jika dia besar dalam lingkungan kerja akan menjadi karyawan atau pimpinan yang baik.
Maka dari itu guru harus memperhatikan betul-betul aspek kejujuran siswa ini. Karena bukan hanya pengetahuan yang menjadi bekal siswa tetapi juga sifat baik dan kejujuran yang justru akan menjadi modal utama kesuksean siswa. Karena pada jaman sekarang sebuah perusahaan lebih memilih karyawan yang jujur dari pada karyawan yang pintar. Tetapi yang paling baik kita bisa menciptkan siswa yang jujur sekaligus pintar.
Saturday, 11 October 2014
Menjadikan Siswa Bermartabat
Setelah membaca sebuah buku, saya jadi teringat ketika mengajar di kelas. Saya sering kali berupaya membangkitkan minat siswa dengan melucu, berusaha membuat siswa tertawa dan tertarik kepada pribadi saya. Tetapi kelaucuan itu muncul dengan sedikit "menyindir" atau "mempermalukan" siswa yang mempunyai "kekurangan". Contoh Kalimatnya seperti ini, "Anak-anak, kamu tahu tidak bahwa hari ini ? Si Ari dapat nilai paling baik, tapi dari bawah" . Bisa dibayangkan setelah kalimat itu, "Si Ari" pasti merasa dipermalukan. Kata "Baik, tapi paling bawah" yang merupakan ironi membuat temannya tertawa sambil tepuk tangan, tapi bagi Ari ini menyakitkan. Tapi sebagai guru sering saya melakukan hal itu. Pengakuan yang jujur, dan saya ingin tobat.
Semua siswa yang kita ajar, mereka itu adalah manusia yang mempunyai martabat. Maka dari itu kita wajib untuk menghormatinya. Tugas seorang guru menjaga martabat itu agar tetap ada dalam diri siswa yang diajarnya, meskipun siswa tersebut mempunyai kekurangan, bahkan meskipun dia anak nakal masih kita perlu hormati martabatnya.
Mempermalukan atau merendahkan martabat bisa membuat siswa menjadi tidak bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Seorang guru perlu untuk pandai dalam menjaga hal ini. Bahkan seorang guru harus menghargai dan meningkatkan martabat setiap muridnya. Maka dari itu perlu ada usaha dari guru untuk emalakukan hal tersebut.
1. Di dalam kelas guru harus memperhatikan setiap prilaku dan sifat muridnya. Jadi seorang guru tahu bagaimana teknik berkomunikasi dengan siswa tersebut. Bagi siswa yang pintar kita bisa dekati dengan memberikan ilmu pengetahuan tambahan kepada mereka, bagi siswa yang nakal bisa kita dekati dia dengan tegas tetapi tetap tidak menyinggung martabat dia. Mungkin kita bisa memperingatkan di saat melakukan pelanggaran, atau memanggil siswa itu "face to face" untuk mendalami masalah yang mereka hadapi dlam kehidupannya.
2. Cobalah untuk menyampaikan candaan atau humor yang cerdas, Jangan bercanda yang berhubungan dengan fisik, sara dan kondisi siswa. Karena bercanda pada saat pembelajaran bisa menyakiti hati siswa. Humor yang baik bisa kita cari di media massa, misalnya majalah, koran dan website di Internet.
3. Pikirkan bahwa mengajar itu untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dimana setiap siswa bisa memperbaiki hidupnya dengan belajar ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi kita harus berupaya untuk membangkitkan jiwa siswa agar dia tahu bahwa dia punya jati diri, harga diri dan mertabat yang membuat mereka dihormati dan harus menghormati orang lain. Berikan selalu pujian-pujian kepada siswa, kurangi aura negatif dan tambah terus aura positif. Dekati siswa dengan lembut dan buatlah dia nyaman dalam kehidupannya di sekolah.
Jika hal-hal di atas kita lakukan maka diharapkan siswa bisa "bangkit", bisa lebih bersemangat dalam belajar. Karena dia sudah menemukan dirinya itu "siapa" yaitu manusia yang bermartabat yang selalu ingin menambah ilmu pengetahuan dan memperbaiki prilakunya.
Wednesday, 8 October 2014
Konsep Pembelajaran Tanpa PR
Sebagai pembuka artikel ini saya ingin menyampaikan bahwa yang paling dibenci siswa saat sekolah adalah PR. Saya dulu juga begitu. Gimana ya ?? ada suatu yang menyakitkan jika seorang guru memberikan PR (pekerjaan rumah). Apalagi jumlahnya nggak kira-kira, misalnya "kerjakan di rumah tugas ini dari halaman 12 sampai 16, besok harus dikumpulkan" wow keren ada 5 halaman yang harus dikerjakan, pokoknya sesuatu banget. Yang lebih gila lagi kalau satu hari ada 4 bidang studi sekaligus yang memberikan PR. Apa nggak membuat males pulang ke rumah ? kalo sudah begitu.
Tapi memang sulit memisahkan pembelajaran dengan tugas di rumah. Disetiap rencana pembelajaran (RPP) guru pasti ada penugasan di rumah pada bagian penilaian, kayaknya seperti kewajiban yang harus dilakukan, apalagi RPP-nya copi paste saya bisa pastikan ada tuh kegiatan penugasan di rumah. Bahkan ada sekolah full day yang pulangnya sampai sore, tetapi siswanya pulang masih membawa oleh-oleh tugas rumah. Betapa kasihannya siswa yang sekola
h pada saat ini.
Selain itu kadang tidak adil karena tugas yang sudah dikerjakan dengan tetesan keringat, plus dibantu orang tua atau guru les hanya di tumpuk begitu saja. Malah terkadang hanya diberi tanda tangan guru tanpa ada nilai yang tertulis. Ini benar-benar membuat minat belajar siswa menjadi jatuh. Sehingga menganggap PR hanya formalitas pelengkap proses pembelajaran.
Saya ingin menwarkan sebuah konsep pembelajaran tanpa PR. Mungkin saya bukan orang pertama yang melakukan. Tapi minimal kita berusaha untuk sedikit menurangi beban siswa. Dalam konsep ini lebih bagaimana seorang guru memaksimalkan waktu yang ada untuk mengerjakan tugas pada saat pembelajaran di kelas. Secara lebih lanjut saya bisa terangkat sebagai berikut:
1. Usahakan perencanaan pembalajaran memuat penugasan yang waktunya cukup untuk diselesaikan di kelas. Nampaknya untuk kurikulum 2013 saat ini, menurut pengalaman saya waktu sangat cukup untuk melakukan itu.
2. Sekolah memberikan waktu khusus untuk mengerjakan PR di sekolah. Misalnya full day atau ada les yang khusus mengerjakan soal secara mandiri atau dibantu guru. Sehingga sampai rumah siswa tidak terbebani PR lagi. Konsep ini yang paling mungkin karena jika jam pelajaran di tambah 1 atau 2 jam sudah dirasa cukup untuk mengerjakan tugas, apalagi ada guru yang mendampinginya.
3. Kalaupun harus ada penugasan terstuktur atau kegiatan mandiri tidak terstruktur, maka semua bisa dilakukan disekolah. Dalam hal ini sekolah harus memberikan fasilitas yang memadai, misalnya dengan mneydiakan komputer, internet dan printer. Sehingga siswa nyaman mengerjakannya di sekolah.
Apa manfaat konsep ini ?
1. Dengan tidak adanya PR, maka siswa bisa menyalurkan bakat dan minatnya dengan baik. Jika dia suka musik, maka dia bisa les piano dengan fokus karena sudah tidak memikirkan PR. Sama juga dengan kegiatan yang lain, misalnya olah raga, menulis, Pramukan dan lain sebagainya.
2. Waktu bermain dan bersosialisasi menjadi lebih lama. Siswa membutuhkan itu, karena bermain dan bersosialisasi dibutuhkan untuk belajar kehidupan dan berlaku sportif dengan lingkungan sekitarnya.
3. Siswa bisa mempelajari ilmu agama yang lebih lama, hal ini saya sampaikan karena pendidikan agama yang ada di luar sekolah itu sangat penting. Selama ini siswa sering meninggalkan pendidikan agama hanya lebih mementingkan mengerjakan PR.
4. Memberikan waktu luang yang banyak kepada siswa untuk berkumpul dengan keluarganya, mereka bisa merasakan kehangatan rumah tangga lebih lama dengan orang tuanya. Mereka bisa mengembangkan aspek psikomotorik sederhana misalnya: menyapu, mencuci dan tugas di rumah lainnya yang nantinya berguna bagi hidupnya di masa depan.
Subscribe to:
Posts (Atom)