Sunday, 7 January 2018
Sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel
Mari kita perhatikan
foto tanaman komoditi ekspor dari wilayah Indonesia di bawah ini. Pada abad ke-19
tanaman-tanaman tersebut memiliki nilai yang sangat berharga dan menjadi
komoditi ekspor yang menguntungkan bagi penjajah. Apalagi Belanda sedang
membutuhkan banyak biaya untuk menghadapi perang di Eropa pada awal abad XX.
Selain itu Belanda juga membutuhkan banyak biaya untuk menghadapi
beberapa perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah. Sehingga terjadi
ketidakseimbangan keuangan dan menyebabkan Belanda mengalami krisis keuangan
yang cukup parah. Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk meningkatkan
jumlah ekspor agar defisit anggaran bisa teratasi. Oleh karena itu Belanda
mengambil jalan pintas untuk menerapkannya sistem tanam paksa pada masa
Gubernur Jenderal Johannes Van De Bosch Tahun 1830.
Ketentuan-ketentuan
sistem tanam paksa yaitu :
1. Penduduk yang
memiliki tanah diwajibkan menyerahkan seperlima luas tanah tersebut
untuk ditanami tanaman ekspor
2. Lahan yang sedang
ditanami tanaman ekspor tidak dikenakan pajak atau bebas pajak tanah
3. Waktu tanam tanaman
tidak boleh lebih dari rentan waktu menanam padi
4. Jika hasil panen
melebihi dari harga pajak maka sisa hasilnya harus diberikan kembali
kepada penduduk
5. Jika terjadi
kegagalan panen maka menjadi tanggung jawab pemerintah Hindia Belanda
6. Rakyat
bekerja menanam tanaman wajib dibawa pimpinan penguasa pribumi sedangkan
pegawai yang berasal dari kaum Eropa mempunyai tugas memungut, mengangkut dan
mengawasi
7. Sedangkan
penduduk yang tidak mempunyai lahan tanah pertanian mempunyai kewajiban untuk
bekerja selama 66 hari atau seperlima tahun dan mendapatkan gaji.
Sebenarnya
peraturan-peraturan di atas tidak terlalu merugikan rakyat Indonesia,
dalam artian rakyat masih punya kesempatan untuk menanam tanaman lain
untuk bahan pokok, seperti padi dan ketela pohon. Tetapi dalam
prakteknya peraturan-peraturan itu sering dilanggar dan melenceng dari
ketentuan semula.
Berikut Praktek-praktek aturan yang diselewengkan yaitu :
a. Tanah yang
digunakan lebih dari seperlima lahan, bahkan sampai separuh atau hampir
semua tanah yang dimiliki rakyat.
b. Kelebihan hasil
panen tidak pernah dibayarkan oleh pemerintah Belanda
c. waktu kerja wajib
bagi yang tidak mempunyai lahan lebih dari 66 hari tanpa mendapatkan gaji
yang memadai
d. Masih ada
pajak untuk tanah yang ditanami tanaman wajib
Pelanggaran-pelanggaran
terhadap ketentuan tanam paksa ini dilakukan oleh pegawai pemerintah Hindia
Belanda maupun penguasa pribumi Karena untuk mengejar bonus hasil panen yang
dijanjikan oleh pemerintah Hindia Belanda sehingga rakyat menjadi korban
terhadap kebijakan ini. Penderitaan rakyat Saat itu begitu terlihat dari
tingginya angka kelaparan dan kekurangan gizi. Pada periode 1848 sampai 1850
terjadi paceklik yang menyebabkan penduduk Grobogan Jawa Tengah mengalami
Kelaparan sehingga jumlah penduduk yang mula-mula 89.000 orang turun
menjadi 9.000 orang. sedangkan data lain di daerah Demak penduduknya yang
mula-mula 336.000 turun menjadi 120.000 orang, belum lagi jika
dikalkulasi dengan data-data lain di berbagai daerah di Indonesia.
dilihat dari data-data itu bisa di bayangkan betapa mengerikannya sistem
tanam paksa yang menyebabkan penderitaan rakyat Indonesia.
Tanam paksa akhirnya
mendapat banyak kecaman dan kontes baik dari bangsa Indonesia
sendiri maupun dari orang-orang Belanda yang mempunyai simpati melihat
penderitaan rakyat di sekitarnya. orang-orang seperti Baron Van Houvel,
E.F.E Douwes Dekker dan L. Vitalis menentang keras sistem tanam
paksa ini. Pada akhirnya sistem tanam paksa dihentikan tahun 1870 dan
sebagai gantinya dikeluarkan kebijakan baru berupa Undang-Undang Agraria
(Agrarische Wet) yang mengatur tentang penggunaan lahan pertanian di Hindia
Belanda.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment